Foto: Acropolis Band. (Istimewa)
DewanDistorsi.com, Jakarta – Nama Ossa Sungkar mungkin sudah tidak asing bagi para pencinta musik rock tanah air, terutama bagi mereka yang tumbuh besar di era 1990-an.
Sang legenda drum dan komposer handal itu resmi kembali ke industri musik dengan membentuk band baru bernama Acropolis, proyek yang disebutnya sebagai langkah penyegaran dalam dunia modern rock di Indonesia.
Bagi generasi 90-an, sosok Ossa Sungkar dikenal sebagai penggebuk drum sekaligus otak di balik band legendaris VOODOO.
Bersama VOODOO, Ossa melahirkan karya monumental berjudul “Salam Untuk Dia” dari album W.O.B (1995).
Lagu tersebut menjadi salah satu hits terbesar dalam sejarah musik rock Indonesia dengan penjualan menembus lebih dari satu juta kopi.
Tak hanya sukses secara komersial, lagu itu juga mendapat apresiasi dari para kritikus musik dan hingga kini masih dianggap sebagai karya klasik.
Uniknya, meski sudah hampir tiga dekade berlalu, “Salam Untuk Dia” tetap populer di kalangan muda.
Banyak band dan musisi Gen Z yang meng-cover lagu tersebut di YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook, menjadikannya fenomena lintas generasi.
“Melihat anak-anak muda masih memainkan lagu itu membuat saya sadar, semangat rock tidak pernah mati,” ujar Ossa.
“Itu yang akhirnya membuat saya ingin turun gunung lagi.” lanjutnya.
Kemudian datang tawaran dari sahabatnya Ossa yaitu Yudhi Dado, sebagai produser and sound engineer di ROOKUM MUSIC PRODUCTION untuk membuat project solo album.
Proses kelahiran Acropolis dimulai dengan obrolan sederhana antara Ossa dan sang istri, Devi Sungkar.
Devi membaca sebuah artikel tentang kota tua bernama Acropolis di Yunani, yang dikenal dengan kejayaan kebudayaan dan seni musiknya pada masa lampau.
Nama itu langsung menarik perhatian Ossa.
“Acropolis punya makna simbolik yang kuat. Kota itu adalah pusat peradaban dan seni pada zamannya, megah, modern, tapi tetap berakar pada nilai-nilai klasik. Saya merasa cocok untuk menggambarkan visi musik band ini,” jelas Ossa.
Akhirnya, tanggal 17 Juli 2025, Ossa resmi mendirikan band Acropolis.
Ia menegaskan bahwa band ini bukan proyek solo, melainkan kerja kolaboratif antar-musisi berpengalaman yang punya reputasi dan integritas tinggi di dunia musik Indonesia.
Formasi Acropolis
Untuk mewujudkan visinya, Ossa mengajak sejumlah musisi lama yang sudah tidak asing di kancah rock nasional.
Di posisi bass, ada Atenk alias Rachmat Sadikin, eks bassist VOODOO, Dplant, Opera, dan Wong Alas.
Di sektor gitar, Ossa menggandeng Utox Londalo, gitaris yang pernah tampil bersama Ahmad Albar Band, Laskar, dan Godbless (sebagai session player pengganti Ian Antono).
Tak berhenti di situ, trio rocker senior itu sepakat menggaet darah muda: Zarev Elarion, seorang vokalis muda berwajah karismatik dengan karakter vokal rock yang kuat dan maskulin.
Zarev sendiri bukan nama baru, ia merupakan keponakan dari Ophie Danzo, vokalis Dplant sekaligus mantan vokalis VOODOO dan Opera.
Pemilihan Zarev dianggap sebagai simbol kolaborasi antara dua generasi: para musisi 90-an dan generasi 2000-an.
“Kami ingin membuktikan bahwa rock bisa relevan untuk siapa saja tidak peduli dari generasi mana kamu berasal,” ujar Ossa.
Secara musikal, Acropolis mengusung konsep modern rock dengan sentuhan artistik dan progresif.
Namun di balik kekuatan teknis dan estetika tersebut, band ini tetap menonjolkan nilai komersial agar bisa diterima oleh pasar luas.
Ketiga personel senior Ossa, Atenk, dan Utox berperan sebagai komposer sekaligus arranger.
Utox dikenal dengan progresi akordnya yang kompleks dan segar, sementara Ossa menjadi pengarah ritmis yang khas dengan teknik drumming rumit ala progressive rock.
Di sisi lain, Atenk memperkaya warna musik lewat permainan bass yang lincah dan berkarakter.
Menariknya, Acropolis memilih untuk tidak menggunakan music director (MD).
Semua proses kreatif mulai dari penulisan lirik, penciptaan lagu, hingga aransemen dilakukan secara mandiri oleh para personelnya.
“Kami semua punya pengalaman panjang. Jadi, rasanya lebih organik kalau semuanya lahir dari kolaborasi langsung tanpa perantara,” tutur Ossa.
Selain mahir bermain bass, Atenk juga dikenal sebagai seniman visual yang piawai melukis dan mendesain.
Ia dipercaya langsung oleh Ossa untuk menciptakan logo resmi Acropolis.
Desainnya disebut akan memadukan unsur modern dan klasik mencerminkan filosofi band yang menggabungkan semangat zaman dulu dengan energi baru.
Setelah melalui tahap pra-produksi dan penciptaan lagu, Acropolis menargetkan akan merilis single perdana pada tahun 2026.
Judul dan konsep lagu masih dirahasiakan, namun Ossa berharap karya tersebut bisa diterima luas, terutama di kalangan generasi muda yang mendominasi dunia digital saat ini.
“Harapannya sederhana saja,” kata Ossa. “Semoga algoritma media sosial bekerja berpihak pada musik yang tulus dan jujur. Kalau itu terjadi, Insya Allah Acropolis bisa membawa semangat rock kembali bergema.”
Kembalinya Ossa Sungkar bukan sekadar nostalgia, tapi tanda bahwa jiwa rock Indonesia masih hidup dan terus berevolusi.
Dengan Acropolis, ia berusaha menciptakan ruang baru bagi musisi lintas generasi untuk berkreasi bersama, memadukan idealisme dan relevansi masa kini.
“Rock itu bukan hanya genre,” ujar Ossa menutup perbincangan.
“Rock adalah cara berpikir. Ia hidup di setiap nada yang jujur dan penuh semangat.” lanjutnya.
Dengan formasi solid, visi yang matang, dan semangat kolaborasi lintas generasi, Acropolis berpotensi menjadi salah satu band rock modern paling menarik di kancah musik Indonesia.
Kembalinya Ossa Sungkar lewat proyek ini tak hanya membangkitkan rasa rindu para penggemar lama, tapi juga memperkenalkan kembali esensi musik rock kepada generasi baru yang haus akan kejujuran dan energi musikal yang otentik. (BAS)
